Belahan Hati Oleh Yahya Rifandaru Penulis adalah mahasiswa ITS She’s my soulmate. Itulah yang selalu ada dalam pikiranku akhir-akhir ini. Semenjak aku tidak berhubungan lagi dengannya, aku merasakan rindu yang mendalam. Aku seorang mahasiswa sebuah perguruan tinggi terkenal di kota ini. Teman-teman memanggilku dengan julukan "marmud". Entah apa maksudnya. Tapi nggak masalah, yang penting keakraban. Musim panen telah tiba. Ujian yang diselenggarakan oleh setiap kampus menelurkan bibit mahasiswa baru. Seperti biasa, calon mahasiswa harus meminta izin pada para penghuni lama. Mereka harus kenal dengan seniornya. Mereka berusaha mendapatkan tanda tangan. Itulah tradisi yang biasa kami jalankan setiap tahun. Wow, pandanganku terpaku pada seseorang yang berdiri di tengah kerumunan calon mahasiswa. "Yud, kamu tahu cewek rambut panjang yang pakai kacamata itu? Kayaknya aku pernah bertemu sebelumnya. Tapi di mana ya?" Yudi menjawab, "Ah, itu mah dejavu! Aku juga sering mengalami hal seperti itu," katanya. "Iya, tapi yang ini lain!" timpalku. "Hei Mud, udah deh, nggak usah ngayal melulu. Entar juga kan dia nyamperin kita buat minta tanda tangan. Kalau kamu memang udah kenal dia, kita lihat aja nanti," kata Yudi. Hingga masa perkenalan selesai, aku belum kenal sama dia. Nggak terasa satu semester aku lalui dengan hasil yang cukup memuaskan. Semester genap sudah berjalan dua minggu, tugas-tugas kuliah menumpuk. "Permisi Mas, selamat malam." Di saat aku lagi sibuk dengan tugas-tugas kuliah, seseorang berdiri di balik pintu dan tersenyum. "Lagi ngapain? Serius amat sih?" Aku nggak tahu harus ngomong apa. "Kok nggak dipersilakan masuk?" Setengah sadar setengah nggak, aku mempersilakan tamuku masuk. Aku sungguh nggak menyangka. Saat itu, aku hampir melupakannya. Eh, malah dia muncul di depan pintu kamarku. "Tahu alamatku dari mana?" "Dari teman-teman," jawabnya. Lalu kami berkenalan. Dia biasa dipanggil Nyaa oleh teman-temannya. Kami ngobrol panjang lebar. Dia seperti sudah kukenal sebelumnya, obrolan kami nyambung. Ternyata, tujuan utamanya datang ke tempat kosku adalah untuk pinjam gunting. Katanya untuk mengerjakan tugasnya. Yang aku nggak habis pikir, kenapa nggak pinjam ke teman lain. Ah, tapi itu nggak penting. Yang penting aku bisa kenalan dengannya. Sungguh, bergulirnya roda nasib memang nggak bisa diprediksi. Sejak saat itu, hubungan kami semakin dekat. Satu semesterpun berlalu. Ujian akhir semester juga sudah selesai. Hasilnya cukup memuaskan meski agak berat. Ini semua tak lepas dari bantuannya. Kami saling membantu dalam hal apa pun. Hubungan kami sudah seperti kakak adik saja. *** Sudah setengah tahun. Sekarang dia tinggal di luar kota. Kami masih berhubungan via telepon atau SMS. Suatu hari ketika aku meneleponnya. "Mas, main ke rumah dong!" Nada bicaranya penuh harapan. Aku menjawab, "Aduuh, Nyaa. Sekarang aku nggak bisa. Kamu tahu sendiri kan, liburan ini aku kerja." "Sudah kuduga, pasti nggak mau main ke rumah," balasnya lalu menutup telepon. Aduh, gawat. Akhirnya tekadku bulat. Akhir bulan aku gajian dan berangkatlah aku naik kereta api. Aku sampai di rumahnya meski harus mencari-cari dulu alamatnya. Benar-benar nggak aku duga. Keluarganya baik, ramah, aku merasa seperti keluargaku sendiri. Sayang aku hanya menginap dua hari di rumahnya. Setelah aku pulang, aku tetap menelepon dia. Bahkan bisa beberapa kali sehari. *** Hubunganku dengan Nyaa sudah berlangsung satu tahun. Aku benar-benar merasa yakin bahwa dialah pasanganku. Malam Valentine, aku membuatkan film animasi yang bercerita mengenai kisahku dan dia selama ini. Kukemas film itu dalam sebuah CD yang imut. Kami sudah janjian untuk bertemu di tempat kosnya jam sembilan malam. Waktu itu turun hujan gerimis. Dengan pakaian agak basah kutekan bel. Ting tong! Di dekat tempat kos Nyaa, sebuah mobil terparkir. Aku nyaris pingsan, dua orang keluar dari mobil sambil mengenakan jaket. Nyaa dan seorang cowok yang pernah aku lihat di kampus tetangga. Melihatku, Nyaa berlari menghampiri. Dengan agak gugup dia berkata, "Maaf." Aku nggak banyak berkata-kata. Kuberikan bingkisan kecilku. Aku nggak jadi mengungkapkan isi hatiku. Malam itu begitu dingin. Hujan pun semakin deras. Aku pamit pulang. Tengah malamnya, dia meneleponku sambil mengucapkan terima kasih. Dia memberitahuku bahwa cowok yang tadi bersamanya adalah pacarnya. *** Hari demi hari kulalui dengan biasa-biasa saja. Aku sudah jarang berhubungan dengan Nyaa. Paling-paling SMS. Tapi kadang-kadang aku masih percaya kalau dia itu pasangan jiwaku. Entah benar atau nggak. Karena, dia sulit untuk dilupakan meski kini sudah dua tahun berlalu.